http://ninkana.fileave.com/favicon.ico Gairah Cinta Mu ... (Blog Bocah Kayuapak): MARILAH KITA BERTOBAT KEPADA ALLAH
Hidup adalah sebuah kesempatan yang diberikan Sang Pencipta alam kepada kita agar mampu berbuat yang bermanfaat bagi sesamanya Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta… kepadaku… ~risahlah hati, dewa19

Rabu, 04 Agustus 2010

MARILAH KITA BERTOBAT KEPADA ALLAH


Dengan Menegakkan Aqidah dan Syariat Islam


Saat ini kita tengah berada pada sepuluh hari ke dua Ramadhan. Menurut Nabi saw., pintu maghfirah (ampunan) Allah terbuka bagi hamba-hambanya yang bersimpuh memohon ampunan-Nya pada hari-hari itu.

Jika kita mau jujur, sungguh amat banyak dosa dan kemaksiatan kepada Allah yang kita lakukan, mulai dari yang kecil sampai yang besar; baik pelakunya dalam level individu, kelompok, masyarakat, maupun pemerintahan/negara. 


Marilah kita menghisab diri. Sudahkah aqidah/keimanan kita benar-benar lurus tanpa tercampur unsur-unsur syirik? Sudahkah kita terikat dengan syariat Allah sebagai konsekuensi keimanan kita kepada-Nya?  Sejauh mana kita selalu bertanya terlebih dulu tentang status hukum syariat untuk dijadikan sebagai standar sebelum melakukan perbuatan? Sudahkah semua kewajiban individual kita yang dibebankan Allah telah kita laksanakan? Bagaimana pula kualitas pelaksanaan kewajiban itu?

Sebaliknya, sudahkan kita berusaha keras untuk menghindari berbagai dosa; entah dosa mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh kita yang lain? 

Dalam hal ibadah, sudahkah kita menjadi seorang yang muhsin dalam beribadah? Sudah merasa yakinkah bahwa ritual ibadah yang kita lakukan sesuai dengan yang dicontohkan Rasul kita yang mulia?

Dalam muamalat, sudahkah seluruh bentuk muamalat yang kita lakukan sesuai dengan ketentuan syariat?  Sudahkah kita bekerja atau berbisnis sesuai dengan syariat? Sudahkah kita menjalani pendidikan yang islami, pergaulan sosial yang islami, dan berbudaya islami? Sudahkah pula kita berpolitik secara islami? 



Secara kolektif/sosial, kita melihat masyarakat sekarang telah hidup bergelimang kemaksiatan. Kemaksiatan di tengah-tengah kita terjadi sesering tarikan nafas. Perjudian terjadi dimana-mana dan terus-menerus. Demikian pula perzinaan, yang bahkan mendapat fasilitas dan diresmikan oleh negara dengan dalih lokalisasi. Seruan kebebasan, bebas lepas dari dienul Islam,  digemakan dimana-mana dan difasilitasi oleh media. Sebaliknya, seruan ketaatan pada dien dan syariat-Nya dipersempit dan tidak diberi ruang. Praktik riba dilakukan setiap detik, secara sistemik, bahkan mereka yang tidak ingin kecipratan riba sangat sulit untuk menghindar dan masih tetap terkena sekalipun debu-debu riba. 

Dengan kemaksiatan yang bertaburan seperti itu, hendaklah kita selalu ingat akan peringatan Rasulullah saw.:



Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian harus  melakukan amar makruf nahi mungkar, atau Allah Swt. akan menurunkan siksa-Nya kepada kalian sehingga apabila kalian berdoa maka Dia tidak akan mengabulkan doa kalian. (HR at-Tirmidzi).



Banyak orang yang memilih menempuh jalan berdoa saja untuk mengubah dan menghilangkan kemungkaran yang ada. Padahal, hadis tersebut mengisyaratkan bahwa doa tidak akan dikabulkan jika amar makruf nahi mungkar ditinggalkan. Bahkan, ketika kemaksiatan bertaburan, sedangkan amar makruf dan nahi mungkar tidak dilakukan, maka justru siksa (kerusakan) akan diturunkan Allah. Mungkin, karena itulah prahara dan krisis di negeri ini tidak kunjung berhenti sekalipun amat banyak doa dipanjatkan, bahkan sering dalam bentuk istighâtsah kubra.

Semua kemaksiatan itu masih ditambah lagi dengan kemaksiatan pada tingkat institusi pemerintahan/kenegaraan. Bahkan mungkin kemaksiatan inilah 'mbah'-nya kemaksiatan. Bagaimana tidak? Kemaksiatan sistemik oleh negara akan menyeret seluruh masyarakat terperosok ke dalam berbagai rupa kemaksiatan. Bukankah merajelalanya perzinaan dan pelacuran, pencurian dan perampokan, korupsi dan manipulasi, dan sebagainya antara lain adalah akibat negara tidak menerapkan hukum-hukum Allah atas para pelaku tindak kriminal tersebut? Bukankah merajalelanya riba dan bisnis kotor lainnya yang bersumber dari Kapitalisme adalah akibat negara tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam masalah ekonomi? Bukankah terkurasnya sumberdaya alam milik umum yang kemudian hanya dinikmati oleh segelintir orang, bahkan dikuasai asing, adalah akibat negara tidak memberlakukan hukum-hukum Allah yang terkait dengan kepemilikan? Bukankah itu semua akibat pengelola negeri ini telah mengesampingkan ajaran agama Allah SWT dari pemerintahan mereka? Bukankah karena kesombongan mereka yang menganggap jangkauan hukum syariah Allah hanyalah dalam masalah pribadi mereka, sedangkan untuk mengatur pemerintahan dan kemaslahatan masyarakat mereka mereka berhak membuat aturan sendiri?

Yang lebih ironis, penolakan terhadap hukum-hukum Allah bahkan dipelopori oleh pihak-pihak dari lembaga yang mengurusi keagamaan, yakni Depag, ketika mereka memunculkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, yang isinya 100 persen menolak syariat Islam yang terkait dengan keluarga dan rumahtangga.

MPR, yang notabene merupakan lembaga tertinggi negara ini, pada awal rapatnya juga sudah menunjukkan sikap alergi terhadap syariat Islam. Bahkan terakhir, pejabat tertinggi lembaga ini, seperti yang diberitakan oleh Eramuslim.com (25/10/2004), memberikan komentar agar seruan tentang penegakan Khilafah dihentikan.

Padahal, seruan penegakan Khilafah tidak lain adalah seruan untuk penerapan syariat islam.  Misi ini hanyalah melanjutkan misi Rasulullah dan para sahabat. Seruan penerapan syariat hanyalah perpanjangan dari seruan Allah, Rasulullah saw., dan generasi terbaik umat ini, yakni para sahabat. Apakah misi Rasulullah saw. dan para sahabat ini yang diminta untuk dihentikan? Apakah seruan untuk menerapkan hukum-hukum Allah ini yang diminta dipadamkan? 

Bahkan, Hudzaifah ibn al-Yaman menuturkan Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa saat itu tengah berada pada era Kenabian, lalu akan ada era Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian, kemudian akan ada kekuasaan yang zalim, dan selanjutnya akan ada kekuasaan diktator. Setelah itu, beliau menutupnya dengan sabdanya:



Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian. (HR Ahmad).

Terhadap berita gembira seperti itu seharusnya kita bersikap seperti para sahabat dan para pendahulu kita.  Terhadap berita akan ditaklukkannya Persia dan Romawi oleh kaum Muslim, para sahabat justru sangat bersemangat menyebarkan dakwah dan melancarkan jihad membebaskan Persia dan Romawi.

Kita ingat juga pasukan Sultan Muhammad Al Fatih yang begitu antusias karena adanya berita gembira dari Rasul tentang penaklukan Konstantinopel dan harapan menjadi sebaik-baik pasukan.

Sebagai orang yang mengaku bagian dari umat beradab, tidakkah kita akan mencontoh sikap agung mereka?  Seharusnyalah kita bersemangat dan sangat giat menyerukan dan memperjuangkan tegaknya Khilafah karena adanya berita gembira dari Rasul di atas, bukan malah sebaliknya, menghentikan atau meminta untuk menghentikan seruan penegakan Khilafah itu. Apalagi kalau hal itu hanya karena alasan keduniawian.  Hendaklah kita ingat akan firman Allah:



Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Tidaklah akan diringankan siksa atas mereka dan mereka tidak akan ditolong. (QS al-Baqarah [2]: 86).



Lebih dari itu, Allah sendiri telah menjustifikasi siapa saja yang menerapkan hukum selain hukum Allah dengan salah satu dari predikat apakah sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), orang fasik (QS al-Maidah [5]: 47), atau orang kafir (QS al-Maidah [5]: 44). Apakah predikat itu yang kita harapkan?



Saatnya Bertobat Secara Total!

Cukup. Cukup sudah kemaksiatan yang terjadi.  Jangan kita lanjutkan dan kita tambah lagi. Cukup sudah sikap menantang Alalh itu. Sudah saatnya semua itu dihentikan sekarang.  Sudah saatnya kita segera bersimpuh memohon ampunan Allah.  Allah Yang Maha Pengampun berfirman:

Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian  dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS Ali Imran [3]: 133).



Saatnya kitab segera bertobat kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya.  Allah SWT berfirman:



Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kalian kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS at-Tahrim [66]: 8).



Para ulama menjelaskan yang dimaksud tobat nashûha adalah mencampakkan dosa pada saat sekarang, menyesali dosa, memohon ampunan atas dosa yang telah lalu dan berazam tidak akan melakukan dosa itu dikemudian hari; dan jika terkait dengan hak hamba maka harus dikembalikan kepada yang berhak.

Saatnya sekarang semua pihak bertobat dari segala kemaksiatan yang terjadi. Realitanya, kemaksiatan terjadi pada tingkat individu, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu, tobat nashûha harus dilakukan pada semua tingkatan itu.  Individu harus bertobat, masyarakat harus bertobat. Tobat juga harus dilakukan di level pemerintahan/negara dan sistem. Hanya satu caranya, yaitu dengan mencampakkan semua hukum dan sistem buatan manusia, lalu segera mengambil hukum dan sistem Islam yang berasal dari Allah secara kaffâh. Seruan dan perjuangan penegakan syariat dalam bingkai Khilafah adalah metode untuk mewujudkan tobat pada tingkat ini.  Oleh karenanya, penghentian seruan dan perjuangan penegakan syariat dalam bingkai Khilafah berarti menghentikan proses tobat yang sesungguhnya. Pelakunya tidak lain keuali mereka yang memang tidak mau bertobat secara sungguh-sungguh.  Padahal, Allah SWT berfirman:



Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal salih, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS Thaha [20]: 82).



Walâhu a‘lam bi ash-shawâb. []





MENEMUKAN MUTIARA IBADAH SHAUM



            Alhamdulillah, dengan idzin Allah SWT kita telah berada di pertengahan Ramadhan tahun 1425H.  Kita memohon kepada Allah SWT agar bisa menyempurnakan shaum tahun ini hingga sebelun penuh.  Dan kita memohon semoga kita termasuk orang-orang yang dalam sabda Nabi saw.:

Siapa saja yang melaksanakan ibadah shaum Ramadhan dengan landasan keimanan dan kesungguhan niat mengerjakannya karena Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu.

            Selain itu kita juga menginginkan dapat menggapai segala keberkahan bulan Ramadhan dengan melaksanakan berbagai kewajiban dan amalan sunnah yang pahalanya dilipatgandakan 70 kali dibandingkan dengan pengerjaannya di bulan lain.  Juga kita berharap dapat mengoptimalkan semua itu pada malam penuh berkah, lailatul qadar, malam yang lebih mulia nilainya daripada 1000 bulan.   

            Kita tentu tidak ingin  kesempatan emas ini melayang.  Juga kita tidak ingin berada di garis minimal, yakni tinggal melaksanakan puasa dan sholat tarawih saja.  Apalagi berada di titik nol, yakni puasa dan tarawih pun sia-sia.  Ya, kita tidak ingin diri kita termasuk dalam sinyalemen Rasulullah saw. seperti dalam sabdanya:

“Betapa banyak orang-orang yang berpuasa tidak mendapatkan balasan kecuali lapar dan haus”.

            Na’udzu billahi min dzalik!  

            Tentu kita tidak ingin ditinggal bulan Ramadhan tahun ini dalam keadaan papa dan rugi sama sekali.  Di sinilah kita perlu memahami hakikat ibadah shaum, agar kita faham dan sungguh-sungguh melaksanakan dengan penuh keimanan dan niat ikhlas lillahi ta’ala.



Hakikat Shaum sebagai bagian dari Ibadah

            Islam mengajarkan kepada kita bahwa tiadalah tujuan Allah Sang Pencipta ini menciptakan kita selain agar kita beribadah hanya kepada-Nya.  Dia SWT berfirman:



Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Ad Dzariyat 56).



            Ibadah secara bahasa artinya taat. Dalam konteks hukum syariat Islam, ibadah adalah  aktivitas hubungan manusia sebagai hamba (dalam bahasa Arab : abid, jamaknya ibaad) dengan Allah SWT sebagai dzat yang diibadahi (dalam bahasa Arab : ma’buud).  Allah SWT sebagai pembuat syariat (dalam bahasa Arab : musyarri’) telah menurunkan hukum-hukum yang sangat rinci tentang ibadah. Kita dapat merujuk pada berbagai kitab fiqih yang membahas masalah-masalah ibadah seperti sholat, zakat, shaum, haji, dan lain-lain.  Inilah yang disebut ibadah secara khusus. 

Sedangkan secara umum, ibadah  adalah taat kepada segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.  Artinya tatkala seorang muslim mencari nafkah demi ketaatannya melaksanakan kewajiban yang Allah fardhukan kepadanya menafkahi anak istrinya (lihat QS. Al Baqarah 233) hakikatnya dia sedang beribadah.  Juga, tatkala seorang muslim berdagang dengan jujur, tidak menipu harga, serta tidak menipu mutu barang,  dan ia berdagang dengan visi saling tukar barang/uang dengan saling ridla dan menjauhi memakan harta manusia dengan cara bathil (lihat QS. An Nisa 29 dan berbagai hadits tentang jual beli), pada hakikatnya dia sedang beribadah.  Seorang pejabat muslim yang adil, tidak tergoda pada suap dan iming-iming demi keuntungan pihak-pihak  tertentu yang menyeretnya kepada segala macam bentuk KKN sehingga melalaikan hak masyarakat umum, maka pada hakikatnya  pejabat itu sedang beribadah kepada Allah SWT.

Shaum dalam konteks ibadah secara spesifik memiliki target tertentu, karakteristik tertentu, dan pengaruh tertentu bagi kehidupan seorang muslim.

Target yang mesti dicanangkan saat niat melaksanakan shaum dan hendaknya disadari sepanjang siang dalam melaksanakan ibadah shaum adalah : berharap dengan shaum atau puasa yang dijalankannnya itu dia memiliki kemampuan membentengi diri dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT, seperti berdusta, bersaksi palsu, berzina, berjudi, meminum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengambil riba, korupsi, bersekongkol dengan pihak asing menguasai aset negara dan menyengsarakan rakyat, dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:



Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al Baqarah 183).



            Sebagaimana ibadah-ibadah khusus yang lain, shaum memiliki karakteristik tertentu, yaitu: Pertama, ibadah shaum bersifat tauqifiyah alias diterima apa adanya dari Allah SWT melalui Al Quran dan As Sunnah.  Kedua, adanya kewajiban shaum tanpa ada illat atau sebab disyariatkannya shaum.  Tapi hanya sekedar perintah Allah (lihat QS. Al Baqarah 183,185).  Ketiga,  shaum dilaksanakan hanya untuk Allah SWT semata, tidak untuk yang lain (lihat QS. Al Kahfi 110).  Dalam hadits Qudsi Nabi bersabda: Allah SWT berfirman: “Shaum itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”(HR. Tirmidzi). Keempat, shaum diterima hanyalah manakala dikerjakan hanya dengan ikhlas lilahi ta’ala.  Shaum yang dilaksanakan tidak dengan niat ikhlas lilahi ta’ala tidak dihitung ibadah.  Kelima, shaum adalah ibadah yang langsung kepada Allah, tanpa perantara.  Ketika seorang muslim berlapar-lapar dalam melaksanakan shaum, laparnya itu langsung dihubungkan dan diniatkan untuk Allah SWT.  Dengan rasa lapar dan haus itulah dia sedang “online” dengan Allah SWT. Keenam, ibadah shaum itu mudah dilaksanakan.  Allah tidak memerintahkan kepada hamba-Nya sesuatu yang tak mampu dilaksanakan.  Sebagaimana hukum-hukum ibadah lainnya, dalam pelaksanaan shaum ada rukshoh untuk tidak melaksanakannya bagi orang-orang dengan kondisi-kondisi tertentu.  Seorang yang sakit atau bepergian dibolehkan untuk berbuka (lihat QS. Al Baqarah 184).   

                       

Mutiara Ibadah Shaum
           

Ibadah shaum sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, apabila dikerjakan dengan ikhlas dan benar, insyaallah akan memberikan bekas pada diri pelakunya.  Seorang muslim yang terlatih dengan shaum akan memiliki sifat lebih sabar, lebih jujur, dan lebih menjaga kesucian dirinya (iffah). 

Untuk memahami lebih dalam dari efektivitas ibadah shaum pada kepribadian seorang muslim, maka perlu kita telaah kembali karakter kelima shaum, yakni ibadah yang langsung kepada Allah, tanpa perantara.  Ketika seorang muslim berlapar-lapar dalam melaksanakan shaum, laparnya itu langsung dihubungkan dan diniatkan untuk Allah SWT.  Dengan rasa lapar dan haus itulah dia sedang “online” dengan Allah SWT.

Kesadaran hubungan langsung “online” dengan Allah SWT ini serta kesadaran bahwa dia adalah hamba Allah SWT  yang wajib senantiasa taat kepada-Nya inilah yang akan membuat seorang muslim bisa mengendalikan dirinya. 

Saat berpuasa seorang muslim melakukan “imsak”, yakni menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-istri, dan segala perkara yang membatalkannya.   Makan, minum, berhubungan suami-istri di malam bulan Ramadhan diperbolehkan (lihat QS. Al Baqarah 187), juga di siang-malam bulan-bulan yang lain.  Namun di saat shaum, seorang muslim menahan diri dari perkara itu hanya karena Allah.  Dalam Hadits Qudsi riwayat Abu Harairah r.a. bahwa Nabi bersabda: Allah SWT berfirman:



“Sesungguhnya dia (puasa) itu untuk-Ku, dan Aku akan membalasnya.  Dia (anak Adam) meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku” (HR. Muslim).

           

            Bilamana perkara yang asalnya halal saja bisa ditinggalkan oleh seorang muslim lantaran ketaatannya kepada Allah, apalagi perkara yang asalnya memang diharamkan oleh Allah SWT. 

            Shaum sebagai ibadah khusus yang bisa dijalankan bersamaan dengan aktivitas-aktivitas lainnya –tidak seperti sholat atau manasik haji yang memerlukan waktu dan tempat yang khusus serta konsentrasi khusus--    shaum pada hakikatnya justru membangkitkan dan memelihara kesadaran hubungan kita dengan Allah SWT.  Saat hendak minum atau makan di siang hari bulan Ramadhan, kita sadar bahwa kita sedang shaum, bahwa Allah pasti mengawasi kita,  dan bahwa Allah pasti mengetahui bahwa kita sendiri yang membatalkan shaum kita.  Saat hendak melakukan suatu bentuk maksiat, kita sadar bahwa kita sedang shaum, bahwa Allah SWT pasti mengawasi kita, bahwa Allah pasti mengetahui bahwa kita sendiri yang membatalkan pahala puasa kita dengan pelanggaran kepada hukum Allah SWT itu.  Shaum melatih kita untuk menyadari apa hakikat dan akibat suatu perbuatan yang akan kita lakukan.  Kata pepatah: “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna”. 

            Juga, shaum memberikan gambaran kepada kita betapa perintah dan larangan Allah SWT wajib dijunjung tinggi.  Allah SWT menyatakan bahwa kalau amalan lain dilipatgandakan dari 10 pahala hingga 700 pahala, shaum itu memiliki nilai khusus, yakni untuk-Nya dan Dialah yang akan membalasnya.  Sedangkan pelanggaran atas kewajiban shaum, yakni sengaja berbuka tanpa alasan syar’i di siang hari Ramadhan, dosanya besar sekali.  Allah gambarkan tak mungkin ditebus sekalipun dengan melaksanakan shaum setiap hari hingga hari kiamat, kalaulah manusia itu mampu melakukannya.    

            Menjunjung agama Allah SWT yang sempurna (iqomatuddin) adalah pekerjaan seorang muslim selama hayat dikandung badan.  Saum melatih kita untuk senantiasa menyadari hal itu dan dapat senantiasa merasakan firman Allah SWT:

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al Hadid 4). 



Khatimah
Mutiara ibadah shaum yang kita peroleh adalah bahwa tiada ajaran dan hukum yang mampu mendorong seorang mengerjakan secara ikhlas dan penuh kesungguhan kecuali ajaran dan hukum Allah SWT.  Hukum jahiliyah buatan manusia tak mungkin   mampu menggerakkan hati manusia seperti ajaran dan hukum syariah Islam di bulan Ramadhan ini.

Semoga kita pun semakin terdorong untuk menegakkannya di bulan lain secara kaffah di zaman yang sudah begini rusak ini.  Apalagi dalam suatu hadits Rasul dikatakan bahwa siapa saja yang menghidupkan sunnah beliau saw. pada saat kondisi umatnya rusak, akan diberi pahala 100 orang yang mati syahid. Jika kita bertekad mulainya di bulan Ramadhan Mubarak ini, sungguh keberuntungan yang besar! Allahu Akbar!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar